Bloglovin Google+ Facebook Twitter Image Map

13 July 2011

Pohon Apel Itu, Masihkah di Tempatnya?


Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula, pohon apel itu juga sangat mencintai anak lelaki itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.

"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.

"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi, " jawab anak lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang, tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang.

"Ayo, bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.

"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"

"Duh, aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan dan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel. Kemudian, anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.

"Ayo bermain-main lagi denganku," kata pohon apel.

"Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk  pesiar?"

"Aduh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah." Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkaannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. "Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."

"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk menggigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu.

"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel.

"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu.

"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil mentikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki. "Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."

"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring dipelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."

Anak lelaki itu berbaring dipelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
***
Kisah di atas adalah kisah kita semua. Pohon apel itu ibarat orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana utuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.
***
Penggalan cerita di atas kutemukan di buku Belajar dengan Hati Nurani yang dipinjamkan Mas Ryan, teman sekantorkuKalimat demi kalimatnya tak sadar membuat mataku berkaca-kaca. Ya, aku memang tipe orang yang gampang hanyut oleh sebuah cerita. Lalu aku meminta temanku untuk ikut membacanya. "Kok aku nggak nangis deh bacanya? Nih," ucap temanku sambil mengembalikan buku tersebut padaku.
Barangkali, inilah alasanku menangis. Aku membaca cerita itu saat sedang kangen-kangennya dengan orang tuaku di rumah. Sudah 2 minggu aku tidak pulang. Aku membacanya sambil mengingat apa yang sudah kulakukan. Keegoisanku. Betapa selama mereka menelpon menanyakan keadaanku, aku selalu sibuk bercerita, kadang mengeluh, seperti ingin orang tuaku ikut merasakan bebanku. Padahal, tanpa itu pun, aku tahu, mereka selalu mengkhawatirkanku. Dengan aku jauh dari mereka saja, aku sudah membebani pikiran mereka setiap saat. Ibu pernah bilang, katanya kalau aku belum membalas sms, apalagi sampai larut malam, ibu pasti khawatir. Yang ada di pikiran Ibu, apakah terjadi sesuatu, ataukah aku sudah lelap tidur sampai tidak membalas?
Dulu, di semester awal, Ibu pernah memarahiku lewat sms karena aku tidak membalas smsnya. Saat itu, kondisinya aku sudah membalasnya, hanya saja sms itu belum sampai pada Ibu. Akhirnya kami malah bertengkar. Aku ikut marah. Namun, setelah aku mengirimkan sms yang agak jahat itu, hatiku jadi tak karuan. Aku menangis membayangkan reaksi ibu ketika membacanya. Benar saja. Ibu sedih karena ulahku. Aku bisa merasakan kesedihan itu dari isi smsnya. Aku cepat-cepat minta maaf, meski kalian tahu, untuk mengucapkan kata-kata manis seperti "Maaf, Ibu. Aku sayang Ibu. Tolong jangan sedih lagi. Aku tak bermaksud mengatakannya." Aku tidak bisa. Aku hanya bilang, "Maaf Ibu, aku emosi tadi. Sebagai permintaan maaf, hari ini aku pulang. Ibu masak yang enak, ya!" begitu kataku. Dan, ibuku langsung lupa dengan masalah tadi. Ibu bilang, "Kamu pulang hari ini? Apa nanti tidak kemalaman sampainya? Mau dimasakkan apa?" Aku menangis membacanya.
Lalu kemarin malam, Ibu dan Bapak menelepon. Anehnya, di awal pembicaraan mereka menanyakan hal yang sama. "Kamu sehat, kan? Beneran nggak lagi sakit, kan?" Aku malah tertawa mendengarnya. Aku menanyakan ada apa, tapi mereka bilang, mereka hanya khawatir karena 4 hari berturut-turut aku terus sibuk sejak pagi untuk liputan dan tidur menjelang pagi karena menyusun laporannya. Mereka tidak percaya dengan kesibukkan itu, aku masih baik-baik saja. Kemudian, aku menceritakan kabar baik yang aku dapat. Ya, ternyata libur semesterku diperpanjang. Tidak terlalu lama, sih, hanya beberapa hari. Lalu, aku lagi-lagi mengeluh, "Yah, berarti nanti aku ulang tahun di kosan, Bu? Kan tanggal 22 hari Senin. Masa mau dirayain hari Sabtu atau Minggunya, sih? Kecepetan." Saat itu, ibuku bilang, tak apa, yang penting kan bisa dirayakan bersama keluarga. Mendengar ibu berkata begitu, aku langsung bilang aku mau pakai kue tahun ini. Ibu hanya tertawa sambil mengiyakan.
Kalau diingat-ingat, aku hanya membicarakan diriku terus-menerus. Aku mengeluh inilah, itulah. Tapi, sepertinya tak pernah aku menanyakan pada orang tuaku mereka sedang ada masalah apa. Untungnya, mereka tak pernah mengeluhkan keluhanku.
Untuk kedua orang tuaku. Waktu yang hilang karena aku yang memaksakan kuliah di tempat yang jauh dari kalian selalu  menjadi cambukku untuk terus berjuang. Aku tahu, kesuksesanku adalah saputangan yang paling tepat untuk keringat kalian.
Untuk seorang anak di sana, kamu tahu, sekalipun tidak melahirkanmu, dia telah mengurus kamu sampai kamu sebesar sekarang. Dia membiayaimu dari mulai kamu membutuhkan sampai kamu sudah tidak butuh sekalipun, kebutuhanmu tetap diurusnya, kamu pasti tahu itu. Ingatkah kamu? Saat kamu sakit, dia akan mencarikan kamu dokter terbaik, kamu cepat sembuh, hanya itu pertimbangannya. Saat ini, dia, ibumu, sakit. Masih tegakah kamu menyimpan uang yang dulu berasal darinya, daripada menggunakannya untuk kesembuhannya? Tegakah? Di luar sana, banyak orang yang menyesali ketidakmampuannya membiayai orang yang dikasihi. Jangan sampai kamu jadi orang yang menyesal karena ketidakmauanmu membiayai orang yang mengasihimu.
Dan terakhir, untuk kalian, Pembaca Instan, aku bukan mau sok menggurui, kalian bisa baca dari ceritaku, aku belumlah menjadi anak baik. Tapi boleh, kan, aku meminta? Sederhana saja, kalau kalian punya waktu luang, pikirkanlah mereka, orang tua kalian. Tak perlu mengajak mereka jalan-jalan atau berbelanja. Cukup berada di sisi mereka. Itu lebih dari cukup.
Ah, aku tambah kangen. Sesekali aku ingin pergi kuliah lalu pulang ke rumah. Meminum teh hangat buatan Ibu sambil bercerita banyak hal yang terjadi hari itu, seperti saat aku sekolah dulu. Aku ingin begadang mengerjakan tugas kuliah dengan ditemani mereka. Setua apapun aku nanti, aku tetap ingin bermain dengan mereka. Aku mau bercanda dengan Bapak, saling mengejek dan kalau aku kalah, aku berteriak minta bantuan Ibu. Sampai kapanpun, aku mau menjadi anak yang terus bermain dengan pohon apelnya. Sekalipun aku tak bisa memanjat.

6 comments:

  1. cerita sangat mengispirasi teman ,sedih juga bacanya
    ,boleh tahu lagu di blog ini judulnya apa ya ????

    ReplyDelete
  2. Sometimes When We Touch :)

    ReplyDelete
  3. sampe nangis tau gak bacanya. Hadeuh. bener-bener keren kisahnya. Itu dari buku yah ?

    ReplyDelete
  4. Iya, udah aku masukkin kan judulnya? hehe
    ayok beli beli, bagus bagus loooooh kisahnya ;)

    ReplyDelete
  5. Postingannya sangat menyentuh.. gilaaaa.. Penuh makna nih.. :)

    ReplyDelete

Hi, there. Thanks for stopping by ^^ Kalau mau komentar, jangan anonim, yah! :)