Bloglovin Google+ Facebook Twitter Image Map

24 July 2011

Yang Pergi Pukul Tujuh Pagi


"Nduk, bangun. Bu haji udah nggak ada.. Cepet bangun kalau mau ikut ngelayat.."

Aku membuka mataku mendengar suara yang samar-samar itu. Kemudian, menuruni anak tangga satu persatu. Baru tiga langkah, mataku menangkap sorot mata ibu di bawah. Ibu pasti habis menangis. Jadi yang aku dengar tadi.....

Bu haji. Begitu orang biasa memanggilnya. Sebenarnya, dia adalah tetanggaku. Juga rekan kerja Bapak, hampir 5 tahun kalau tidak salah. Kedekatan bapak dengan beliau sudah seperti anak dengan ibunya, tentu sudah barang pasti aku dan ibu pun dekat dengan beliau. Yah, sudah seperti nenek sendiri bagiku. Bapak bilang, semalam bapak bermimpi tentang beliau, nenekku. Di mimpi itu, nenek seperti biasa, menemui bapak sambil tersenyum, bahagia sekali sepertinya. Bapak bilang, nenek juga mengatakan sesuatu, tapi sayang, tak terekam oleh ingatan bapak. Mungkin nenek pamit, yaa...

Mendengar cerita bapak, aku tenang. Nenek bahagia, persis seperti raut yang aku dapati tadi, saat membacakan yasin untuk nenek. Cantik, sungguh. Tidak ada kesan menyeramkan seperti yang aku bayangkan. Aku tak bisa menahan air mataku. Mana nenek yang biasa menyapaku? Kenapa nenek diam saja?  Aku mengamati benar-benar. Berharap masih ada tarikan dan hembusan napas, masih berpikir nenek hanya tertidur. Tapi, tidak. Tak ada lagi napas. Aku tak tahu bagaimana caranya Tuhan mengambil napas itu. Aku tidak tahu di mana nenek sekarang. Dan hal itu membuatku lagi-lagi basah air mata. Bacaan yasinku terhenti sesaat karena penglihatanku dikaburkan air yang menggenang di mataku. Kenapa aku masih nangis kayak gini? Rasanya curang, ya... Nenek bisa liat aku terus, tapi aku nggak bisa liat nenek lagi :'(

Hhhh. Aku bakal kangen. Tidak ada lagi orang yang datang ke rumah hanya untuk menanyakan kapan aku pulang, setiap hari, setiap pagi. Tidak ada lagi yang nasehatnya selalu sukses membuatku menangis, "Belajar yang benar. Kasihan bapak ibumu itu, mereka kerja udah nggak peduli capek, nggak peduli sakit. Di Jakarta kalau main hati-hati. Temenan hati-hati. Jaga diri yang bener, yaa."

Aku bersyukur bisa melihat nenek untuk terakhir kalinya. Jujur, baru itu aku duduk di samping orang yang sudah tidak ada, hanya tertinggal raga yang memucat. Rasanya... Aku takut. Aku takut kalau nanti semua orang yang aku sayang juga pergi di saat aku belum siap. Aku tidak mau sendirian. Meskipun, aku tahu, aku tidak akan pernah siap. Dan, tak ada orang yang akan siap sendirian.

Nek, baik-baik, ya. Uh, aku nggak bisa nakal lagi, nih, nenek pasti lihatin aku terus. Tapi nggak papa, aku suka. Aku mau nenek terus melihat aku, melihat perjuanganku, sampai aku berhasil. Kecup sayang penuh doa. Aku sayang nenek.

Mohon doanya, ya, Pembaca Instan. Buat menemani nenek di sana :')

9 comments:

  1. saya turut mendoakan, semoga beliau tenang di sana. yang tabah ya mbak.

    ReplyDelete
  2. turut berbelasungkawa.. semoga arwahnya di terima di sisi-Nya.. :(

    ReplyDelete
  3. Terima kasih kakak-kakak :')
    Beliau pasti sudah berada di tempat terindah, aku yakin :)

    ReplyDelete
  4. Uhuuk saya juga bakalan ikut mendoakan untuk nenek mu itu B)

    ReplyDelete
  5. innalilahi wa inna ilaihi rojiun...
    nenekmu pasti juga kangen sama kamu kok Manda. :)

    ReplyDelete
  6. ceritanya persis seperti pengalamanku baru2 ini sob.
    tapi yg merasa kehilangan banget, ibu ku neng.

    ReplyDelete
  7. pasti beliau sedang tersenyum membaca tulisanmu ini.

    ReplyDelete
  8. kerenn blog nyah :))
    kunjungi & follow blog gue yah.
    tar gue follback deh
    irfanivan

    ReplyDelete

Hi, there. Thanks for stopping by ^^ Kalau mau komentar, jangan anonim, yah! :)